Rabu, 28 Januari 2015

Kemana Perginya Si Apel?

Kemana Perginya Si Apel?

            Hari begitu penat, panas disertai angin yang bertiup kencang, menggulung debu-debu jalanan yang kerontang. Sejenak kemudian, terdengar teriakan dari belakang. Menghancurkan lamunanku yang sudah ingin segera keluar dari bus yang gerah, berjejalan penumpang ini.
            “Ayo siap-siap yang perempatan,” aba-aba dari Pak kondektur mengingatkan penumpangnya.
            Tak lama, berhentilah bus itu. Kemudian penumpang-penumpang mulai antri keluar dari Kawan Kita, termasuk juga aku. Semilir angin dari selatan menyambutku, cukup menyejukkan meskipun tetap membawa hawa kemarau yang kering. Aku pun segera bergegas, mengingat perjalanan panjang masih menungguku.
            Dengan peluh yang mulai bercucuran aku mengayuh sepedaku ke barat, menantang matahari yang mulai bersiap untuk terbenam namun masih panas menyengat. Pelan-pelan kulewati jalanan yang mulai menanjak itu.
            Tanjakan telah terlewati, hanya tinggal membelah jalan di tengah kebun tebu yang mulai meninggi batangnya di depan sana. Lalu sayup-sayup mulai terdengar di telingaku sorakan juga bunyi peluit yang bertambah mendekat. Semakin kupercepat kayuhanku agar tak ketinggalan.
            Segera saja kuparkir sepedaku dekat pohon mangga di pinggir lapangan kemudian bergegas kuhampiri seorang anak gawang yang baru saja menyodorkan bola ke dalam lapangan.
            “Berapa skornya?” tanyaku penasaran pada Litya, si gadis anak gawang. “Ah kamu, kenapa baru datang? Padahal seru banget, semoga ini jadi gol, skornya masih kacamata,” jawabnya sambil terus memandang pada segerombol pemain yang tengah berdiskusi mengambil ancang-ancang tendangan bebas.
            “Penalti?” tanyaku setelah kuamati beberapa pemain bola itu.
            “ Iya. Pokoknya si Apel harus cetak gol,” jawab Litya yang masih serius mengamati ke dalam lapangan. “Ayo Apel, bobol aja!” teriak Litya, yang membuat si Apel menengok ke arah kami berdua, kemudian dia mengacungkan jempol tetap dengan muka seriusnya.
            Tendangannya yang melambung jauh di atas gawang, membuat penonton kecewa. Termasuk aku dan Litya, yang tentu sangat berharap pada bocah jakung berambut spiky itu. Sementara itu, si Apel tampak lesu dengan wajah kecewanya. Ia tak berhasil mengubah skor.
Hingga pertandingan berakhir, skor tetap seri 0-0. Dengan wajah tertunduk, si Apel berjalan pelan ke pinggir lapangan. Kusodorkan padanya segelas air mineral setelah ia duduk di sampingku. Dia terlihat begitu kelelahan.
“Heh Apel, gimana sih kamu? Tadi kan penalti, kenapa nggak gol? Kesempatan kita kan jadi tambah sedikit. Pokoknya kita harus menang tandang besok.” Celoteh Litya yang baru datang setelah memungut bola.
 “Ah sudahlah, kekalahan kan kemenangan yang tertunda.” Aku mencoba menengahi. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, sekantong apel yang ada di tasku. Segera kuambil buah itu, dan kuberikan pada si Apel. “Ini pesananmu. Lupakan dulu hasil hari ini, sekarang kita makan bareng-bareng, ok?” si Apel lalu mengangguk, tapi masih dengan muka yang masam.
 Tiap ke sekolah aku selalu melewati kios buah, sehingga beberapa hari sekali si Apel memang sering menitip untuk dibelikan buah apel kesukaannya, seperti hari ini. Karena kegemarannya akan apel itulah yang akhirnya membuat dia lebih akrab disapa si Apel daripada Toni, nama aslinya.
Saat aku akan memberikan apel itu ke si Apel, tiba-tiba Litya menyahutnya lalu kembali berkomentar, “kalau desa kita kalah, tidak akan ada lagi apel untukmu,” begitu ancamnya.
“Iya cerewet..” ledek si Apel yang membuat Litya cemberut.
“Sudahlah, jangan begitu. Kalah menang itu bukan masalah, semua yang menentukan Tuhan. Saling mendukung, itu yang terpenting.”  Kataku. “Tapi ini bukan apelmu,” lanjutku sembari mengambil sebuah apel hijau dari tangan Litya. Kemudian kuberikan buah itu ke si Apel, sementara Litya memandangku heran dan si Apel juga menerimanya dengan ekspresi yang tak jauh beda, “ini baru untukmu,” dan kini semua telah kebagian. Bertiga kami menikmati senja yang hangat di bawah pohon mangga, sehangat persahabatan antara aku, Litya, dan si Apel tentunya.
Akhirnya berpisahlah kami bertiga di depan rumah kami masing-masing. Kami memang saling bertetangga. Mengenal dan bersama sejak kecil, kami pun selalu bersekolah di tempat yang sama. Hingga akhirnya saat SMP, aku harus menuntut ilmu di tempat yang tak sama dengan Litya juga si Apel. Tetapi tetap, persahabatan kami tak pernah luntur.
Baru saja aku masuk ke rumah, sudah terdengar dari seberang sana. Suara keras dari ayah si Apel yang menyambut kedatangannya dengan rasa marah.
“Tiap hari pulang jam segini, bola terus yang kamu urusin. Iya kalau menang, wong kalah terus masih aja dilanjutin. Sini tak buange sepatumu, sini!” dan berlanjutlah ucapan singkat itu menjadi keributan kecil. Entah apa selanjutnya yang dialami si Apel, yang jelas dia terdengar gagal mempertahankan sepatunya.
Aku pun bergegas ke kamar, lalu kutaruh tasku yang berat itu di atas meja. Tiba-tiba ponselku berdering, satu sms masuk, dari Litya. Kubaca pesannya, “Kasihan si Apel, sepatunya dibakar ayahnya,” begitu tulis Litya. Aku sangat terkejut, lalu kuintip dari jendela kamarku yang tepat di depan rumah si Apel. Dan, benar saja apa yang dikatakan Litya.
Tiga hari kemudian...
Sore ini, tim desa kami akan melanjutkan pertandingan penentu menuju babak semifinal turnamen antardesa di kecamatan kami. Awalnya aku tak yakin si Apel akan ikut, tapi nyatanya dia malah sudah siap di lapangan. Juga dengan sepatu yang sudah terpasang di kakinya. Aku dan Litya dibuatnya terkaget, bagaimana itu bisa terjadi?
Pertandingan berlangsung alot, saling jual beli serangan. Namun babak pertama harus berakhir tanpa satupun gol yang tercetak dari kedua kubu.
Babak kedua dimulai, tim desaku terus menyerang lawannya. Hasilnya di menit 57, si Apel berhasil menyundul bola dan menjebloskannya ke gawang desa sebelah. Semua bersorak gembira.
Tapi kami langsung dibungkam, selang tiga menit tim lawan mengimbangi skor kami. Semangat lawan mulai kembali bangkit. Tapi beruntung, setelah terlepas dari offside si Apel dengan sukses kembali menyarangkan golnya. Senyumnya yang lama tak terlihat, kini kembali berkembang setelah sekian lama ia lebih sering murung. Tak ketinggalan selebrasi khasnya yang juga lama tak tampak, love line.
Seminggu kemudian...
            Ayah pergi ke dapur, mengambil panci kecil dan sendok. Kemudian ia ikut bergabung dengan orang-orang yang sudah berkumpul selepas isya’ di depan rumah. Pagi tadi ada bapak-bapak yang mengatakan bajunya tersangkut kail pancing yang ada di atas pohon. Semua orang menduga itu pancingan milik si Apel yang digondol wewe gombel. Karena ibunya pun bilang jika si Apel memang izin pergi memancing, tapi sampai malam ia tak kunjung pulang. Dan tersebarlah isu si Apel hilang digondol kalong wewe ke seantero desa.
            Semua anak dilarang keluar rumah, begitu pula aku. Dari tadi aku masih memikirkan sebab hilangnya si Apel, yang kurasa masih janggal. Tiba-tiba, aku teringat percakapanku dengan Litya dan si Apel seminggu yang lalu di lapangan. Saat itu, si Apel bilang ada seleksi pemain Arema U-15. Apa mungkin dia mengikuti seleksi itu? dia kan Aremania dan ingin sekali mengikuti idolanya, Christian Gonzales ke Arema.
            Aku berniat menghubungi Litya dan menyampaikan pemikiranku ini. Namun niat ini kuurungkan, aku ingat kalau Litya sedang marah padaku. Gara-gara aku yang berjalan di atas jembatan gantung dari bambu tak sengaja tersandung, dan menjatuhkan bola milik si Apel dari pelukanku yang langsung terjun ke sungai. Bola itu hanyut, sementara kami berdua tak bisa mengikutinya lagi.
            Aku jadi semakin merindukan si Apel, jika Litya dan aku marahan pasti dia bisa dengan mudah menyatukan kami kembali. Aku pun merasa semakin bersalah tiap kali mengingat kejadian itu. Aku telah menghilangkan bola kesayangan si Apel. Bola yang sangat berarti baginya, itu adalah pemberian dari Christian Gonzales langsung saat si Apel menjadi pemain terbaik turnamen sekota Kediri di Stadion Brawijaya tahun 2006.
            Bukan ayahnya yang merusak bola itu, tapi aku. Karena memikirkan hal itu, aku jadi teringat sesuatu. Ya, ini yang dari tadi kucari-cari. Si Apel menitipkan bola ini padaku dan Litya agar tidak dirusak ayahnya selama dia pergi ke Malang. Ya, itulah jawabannya, dia pergi ke Malang.
            Tiba-tiba ponselku berdering, dari Litya. Jarang-jarang dia menelponku jika tidak untuk hal-hal yang penting saja, apalagi bukannya dia sedang marah padaku? Apakah ini tandanya jika Litya punya pikiran yang sama denganku? Dia ingin memberitahuku bahwa sekarang si Apel sedang di Malang, mengikuti seleksi Arema U-15?
            “Si Apel pergi ke Malang...” kataku dan Litya berbarengan setelah kuangkat telepon dari Litya.
            Benar saja, dua hari setelah heboh si Apel yang hilang, ayah si Apel berhasil membawa pulang putranya itu. Dia ditemukan sang ayah dengan bantuan polisi. Tapi kenekadannya kabur dari rumah, berhasil membuatnya masuk dalam jajaran tim Arema junior. Dan yang terpenting, dia sudah tak mempermasalahkan bola yang kuhilangkan, karena dia sudah mendapat gantinya yang sama. bola dari ayahnya sebagai pertanda restu darinya untuk si Apel mengembangkan bakatnya mengolah si kulit bundar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar