Resensi Novel Ranah
3 Warna
Judul
buku : Ranah 3 Warna
Pengarang
: A.
Fuadi
Penerbit
: Gramedia
Tebal
buku : 473
halaman
Tahun
terbit : 2011
Ranah 3 Warna merupakan buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi. Seperti judul sebelumnya, novel ini masih menceritakan tentang
perjuangan seorang anak bernama Alif terutama setelah dia lulus dari Pondok
Madani (PM). Cerita bermula ketika Alif belajar keras untuk mengikuti ujian
penyetaraan SLTA agar ia bisa mendaftar di perguruan tinggi. Demi mewujudkan
mimpinya itu, Alif dengan semangat membaca buku-buku pelajaran yang ia
kumpulkan dari teman-temannya. Perjuangan itu akhirnya berakhir manis setelah Alif
diterima di Universitas Padjajaran. Dia telah membuktikan bahwa semua tudingan
orang yang beranggapan lulusan pondok hanya bisa menjadi ustadz itu tidak
benar. Bersama sepatu kulit hitam hadiah dari ayahnya, Alif merantau ke tanah
sunda dan memulai perjuangan baru di hidupnya.
Setelah satu mimpinya berhasil ia genggam, ternyata permasalahan yang
datang menghadangnya tak berhenti begitu saja. Ia harus benar-benar menghemat
pengeluarannya selama tinggal jauh dari orang tuanya, apalagi setelah ayahnya mulai
sakit. Semua masalah seolah kian memuncak ketika sang ayah meninggal dunia, sejak
saat itu Alif mencari cara untuk menghasilkan uang sendiri agar tidak terus
bergantung pada ibunya. Berbagai macam pekerjaan ia lakukan di sela-sela
kegiatan kuliahnya, menjadi guru les privat, penjual alat-alat kecantikan,
hingga berjualan kain-kain khas dari Maninjau. Pernah suatu ketika Alif
dirampok oleh dua orang yang tiba-tiba mendatanginya saat ia berteduh setelah
berjualan di sebuah rumah tua. Tak ada yang dapat ia selamatkan kecuali sepatu
kulit pemberian ayahnya yang hampir dibawa perampok itu, bahkan beberapa barang
dagangannya juga diambil.
Tak berhenti di sana saja, permasalahan Alif juga datang dari kawan
sekaligus saingannya, Randai. Bahkan pertemanan mereka hampir di ambang
kehancuran setelah Alif merusakkan komputer milik Randai saat ia sedang mengetik
tulisannya yang akan segera ia kirim ke suatu surat kabar di Bandung. Sejak
kejadian perampokan itu Alif berhenti menjadi pedagang dan kembali berguru
kepada Bang Togar, seniornya yang sudah menjadi penulis artikel profesional. Bang Togarlah yang sempat membuat tulisan Alif dimuat di majalah kampus mereka.
Dengan berbekal ilmu yang ia dapat dari Pondok Madani, Alif menjalani hidupnya
dengan penuh kesabaran. Man sabara dzafira, siapa yang sabar akan
beruntung, itu yang selalu ia terapkan dalam hidupnya.
Akhirnya, keberuntungan itu datang. Melalui pembelajarannya dengan Bang
Togar, Alif berhasil menghidupi dirinya bahkan juga mulai membantu ibunya
melalui tulisan-tulisan yang ia kirim ke surat kabar. Bahkan ia tak lagi
menumpang di kamar Randai dan bisa membeli komputer sendiri. Tak berhenti di
situ saja, Alif terpilih menjadi salah satu mahasiswa yang dikirim untuk
mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika, benua yang sudah menjadi mimpinya
sejak di Pondok Madani. Keberuntungan lainnya adalah Raisa, mahasiswi yang
sejak dulu Alif dan Randai rebutkan. Raisa satu rombongan dengannya. Lebih beruntung
lagi setelah Randai, saingan terberatnya itu tak terpilih sehingga Alif bisa lebih
dekat dengan Raisa. Maka berangkatlah Alif merajut impiannya. Menapaki tanah
para Nabi, Yordania dan menyusuri jalan mimpinya di Amerika dengan sepatu kulit
hitam pemberian ayahnya yang juga telah menemaninya di ranah Sunda.
Dengan semua nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, novel ini cocok
dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi kaum muda. Perjuangan Alif dalam
mewujudkan mimpinya adalah sebuah inspirasi yang bisa memotivasi para pemuda
yang membaca novel ini untuk tidak takut bermimpi, berjuang, sabar, dan
berserah diri dalam mewujudkan mimpi. Selain itu, nilai moral dan agama yang
terdapat dalam novel ini juga bisa membangkitkan kembali nilai agama dan moral
yang mulai luntur di masyarakat. Novel ini juga merupakan pematah anggapan
bahwa lulusan pondok hanya bisa menjadi ustadz atau guru mengaji yang selama
ini berkembang di masyarakat. Penulis juga membawakan novel ini dengan bahasa
yang ringan sehingga pembaca tidak akan kesulitan dalam memahami inti dari
cerita ini. Banyak kejadian yang menarik, tidak terduga, dan berkesan membuat
novel ini menarik untuk dibaca. Akan tetapi, karena novel ini merupakan novel
kedua dari sebuah trilogi sebaiknya pembaca juga membaca novel pertama dari
trilogi ini agar bisa lebih memahami isi dan amanat dari novel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar