Rabu, 21 Januari 2015

Ranah 3 Warna (novel)


Resensi Novel Ranah 3 Warna

Judul buku       : Ranah 3 Warna
Pengarang        : A. Fuadi
Penerbit           : Gramedia
Tebal buku       : 473 halaman
Tahun terbit     : 2011

Ranah 3 Warna merupakan buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Seperti judul sebelumnya, novel ini masih menceritakan tentang perjuangan seorang anak bernama Alif terutama setelah dia lulus dari Pondok Madani (PM). Cerita bermula ketika Alif belajar keras untuk mengikuti ujian penyetaraan SLTA agar ia bisa mendaftar di perguruan tinggi. Demi mewujudkan mimpinya itu, Alif dengan semangat membaca buku-buku pelajaran yang ia kumpulkan dari teman-temannya. Perjuangan itu akhirnya berakhir manis setelah Alif diterima di Universitas Padjajaran. Dia telah membuktikan bahwa semua tudingan orang yang beranggapan lulusan pondok hanya bisa menjadi ustadz itu tidak benar. Bersama sepatu kulit hitam hadiah dari ayahnya, Alif merantau ke tanah sunda dan memulai perjuangan baru di hidupnya.
Setelah satu mimpinya berhasil ia genggam, ternyata permasalahan yang datang menghadangnya tak berhenti begitu saja. Ia harus benar-benar menghemat pengeluarannya selama tinggal jauh dari orang tuanya, apalagi setelah ayahnya mulai sakit. Semua masalah seolah kian memuncak ketika sang ayah meninggal dunia, sejak saat itu Alif mencari cara untuk menghasilkan uang sendiri agar tidak terus bergantung pada ibunya. Berbagai macam pekerjaan ia lakukan di sela-sela kegiatan kuliahnya, menjadi guru les privat, penjual alat-alat kecantikan, hingga berjualan kain-kain khas dari Maninjau. Pernah suatu ketika Alif dirampok oleh dua orang yang tiba-tiba mendatanginya saat ia berteduh setelah berjualan di sebuah rumah tua. Tak ada yang dapat ia selamatkan kecuali sepatu kulit pemberian ayahnya yang hampir dibawa perampok itu, bahkan beberapa barang dagangannya juga diambil.
Tak berhenti di sana saja, permasalahan Alif juga datang dari kawan sekaligus saingannya, Randai. Bahkan pertemanan mereka hampir di ambang kehancuran setelah Alif merusakkan komputer milik Randai saat ia sedang mengetik tulisannya yang akan segera ia kirim ke suatu surat kabar di Bandung. Sejak kejadian perampokan itu Alif berhenti menjadi pedagang dan kembali berguru kepada Bang Togar, seniornya yang sudah menjadi penulis artikel profesional. Bang Togarlah yang sempat membuat tulisan Alif dimuat di majalah kampus mereka. Dengan berbekal ilmu yang ia dapat dari Pondok Madani, Alif menjalani hidupnya dengan penuh kesabaran. Man sabara dzafira, siapa yang sabar akan beruntung, itu yang selalu ia terapkan dalam hidupnya.
Akhirnya, keberuntungan itu datang. Melalui pembelajarannya dengan Bang Togar, Alif berhasil menghidupi dirinya bahkan juga mulai membantu ibunya melalui tulisan-tulisan yang ia kirim ke surat kabar. Bahkan ia tak lagi menumpang di kamar Randai dan bisa membeli komputer sendiri. Tak berhenti di situ saja, Alif terpilih menjadi salah satu mahasiswa yang dikirim untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika, benua yang sudah menjadi mimpinya sejak di Pondok Madani. Keberuntungan lainnya adalah Raisa, mahasiswi yang sejak dulu Alif dan Randai rebutkan. Raisa satu rombongan dengannya. Lebih beruntung lagi setelah Randai, saingan terberatnya itu tak terpilih sehingga Alif bisa lebih dekat dengan Raisa. Maka berangkatlah Alif merajut impiannya. Menapaki tanah para Nabi, Yordania dan menyusuri jalan mimpinya di Amerika dengan sepatu kulit hitam pemberian ayahnya yang juga telah menemaninya di ranah Sunda.
Dengan semua nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, novel ini cocok dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi kaum muda. Perjuangan Alif dalam mewujudkan mimpinya adalah sebuah inspirasi yang bisa memotivasi para pemuda yang membaca novel ini untuk tidak takut bermimpi, berjuang, sabar, dan berserah diri dalam mewujudkan mimpi. Selain itu, nilai moral dan agama yang terdapat dalam novel ini juga bisa membangkitkan kembali nilai agama dan moral yang mulai luntur di masyarakat. Novel ini juga merupakan pematah anggapan bahwa lulusan pondok hanya bisa menjadi ustadz atau guru mengaji yang selama ini berkembang di masyarakat. Penulis juga membawakan novel ini dengan bahasa yang ringan sehingga pembaca tidak akan kesulitan dalam memahami inti dari cerita ini. Banyak kejadian yang menarik, tidak terduga, dan berkesan membuat novel ini menarik untuk dibaca. Akan tetapi, karena novel ini merupakan novel kedua dari sebuah trilogi sebaiknya pembaca juga membaca novel pertama dari trilogi ini agar bisa lebih memahami isi dan amanat dari novel ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar