Rabu, 04 Februari 2015

Cerpen "Aku dan Sepatu Ajeng"


Aku dan Sepatu Ajeng
Malam ini hujan turun sangat deras tapi aku tak kunjung bisa tidur. Banyak hal yang sedang kupikirkan.
***
            Sisa hujan semalam masih menempel di kaca jendela kamarku. Dari balik jendela itu, aku melihat sebuah mobil masuk ke halaman. Itu pasti dia, buru-buru aku ikut mendekat ke mobil itu seperti yang lain.
            Mas Ahmad keluar dari pintu depan bersama Mbak Shofi. Mbak Shofi langsung menuju pintu belakang mobil. Sementara itu Mas Ahmad membuka pintu, sepertinya ia sedang mengambil sesuatu. Apa yang Mas Ahmad ambil? Dan... tampaklah, Mas Ahmad menggendong seseorang yang sangat kukenal. Mbak Shofi mendekat dan Mas Ahmad mendudukkan gadis berkerudung merah itu. Dengan didorong Mbak Shofi, kulihat penampilan baru Ajeng –gadis berkerudung merah yang digendong Mas Ahmad, dengan kursi roda. Ini tidak mungkin....
***
            Semilir angin meniup air danau membentuk riak-riak kecil di permukaannya. Membuat danau ini terasa lebih indah. Mataku seakan tak ingin beranjak darinya. Tapi pandanganku segera beralih pada seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.
"Mbak Shofi?"
"Kok sendirian? Mbak boleh ikut duduk di sini, kan?" aku mengangguk. Lalu mataku kembali tertuju pada danau kecil itu. "Dingin, ya?" lagi, aku mengangguk sementara mataku seolah sudah menempel lekat pada danau di depanku. "Dingin-dingin begini, makan sup enak kali ya? ini untuk Intan." Kali ini lem di mataku seolah langsung hilang, aku memandang Mbak Shofi yang menyodorkan semangkok sup hangat kepadaku. "Ayo kita makan! Mbak tadi juga belum makan." Aku masih diam. "Lho, kok diam? nanti supnya dingin, lho!" Kata Mbak Shofi setelah menelan sesendok supnya. Mataku berkaca-kaca, karena sudah tak kuat lagi, aku langsung memeluk Mbak Shofi. Kucurahkan air mataku yang sudah sejak kemarin kutahan, sementara tangan Mbak Shofi membelai rambutku. Selalu, dengan penuh kasih sayang.
            Sepulang dari danau, aku langsung berlari masuk ke rumah.
"Ajeng...." suara cemprengku seketika memenuhi setiap sudut rumah.
"Intan.." suara itu, aku mencari-carinya. Aku melihat Ajeng yang duduk di samping Mas Ahmad. Segera aku ke sana.
"Ajeng, Ajeng mau maafin Intan, kan?" Dia mengangguk. Kami pun saling berpelukan, rasanya sangat lega. "Aku kangen kamu, Jeng..." kataku dalam hati.
***
            Malam ini, usai sholat isya' kami berkumpul di ruang tengah.
"Kene tak critani, kanggo sebo mengko sore..." lagu ini selalu menjadi pembuka acara dongeng malam minggu yang selalu kami nyanyikan bersama-sama.
Seperti biasa, di hari Sabtu Mas Ahmad akan menjadi dalang kami yang akan membawakan kisah-kisah Nabi. Mas Ahmad adalah pendongeng nomor satu yang membuat kami tidak sekalipun merasa bosan. Setelahnya, Mas Ahmad akan mengajak kami bersama-sama bersholawat. Kalau sudah begitu, kami semua pasti langsung bersemangat. Selain pandai bercerita, Mas Ahmad cocok jadi penyanyi. Suaranya bagus, lho!
"Nah, karena sholawatannya sudah selesai, berarti sekarang waktunya untuk tidur. Ayo, semua segera gosok gigi, wudhu, lalu langsung tidur, ya! besok kan harus ke sekolah." Kata Mbak Shofi.
"Yah, Mbak Shofi, besok kan sudah liburan!" seruku diikuti tawa anak-anak yang lain. Dan Mbak Shofi pipinya langsung memerah dan senyam-senyum malu.
"Kalau begitu, kalian harus bantu ibu di ladang. Ayo, sekarang tidur!" tiba-tiba Ibu Halimah menyahut.
            Seharian ini kami berada di ladang. Mulai dari mencabut rumput di sekitar tanaman kacang, hingga panen ketela. Ketela itu kami kumpulkan di gerobak yang akan didorong Mas Ahmad. Setelah gerobak itu penuh, kami pun pulang.
"Aduh," aku tersandung batu, dan kakiku terluka. Melihatku jatuh, Mas Ahmad menghentikan gerobaknya. "Yah, berdarah.." kataku setelah kulinting celanaku yang kini berlubang lututnya.
"Intan naik ke gerobak, ya?"
"Nggak, Intan masih kuat, kok."
            Pada akhirnya aku sudah tidak kuat jalan lagi, karena luka di lututku ini membuat kakiku jadi kaku, susah digerakkan. Mas Ahmad pun menaikkan aku ke gerobaknya yang penuh ketela dan sudah ada Ajeng yang nggak mungkin jalan di jalan terjal perbukitan.
"Wah, Intan kakimu luka. Ayo sini Mbak obatin!" kata Mbak Shofi setelah aku diturunkan Mas Ahmad dari gerobak. Mbak Shofi segera mengambil obat ke dalam rumah sedangkan aku dan Ajeng menunggu di teras.
"Aduh, perih, perih!" kataku saat Mbak Shofi menyentuhkan kapas yang sudah diberi cairan pembersih luka ke lukaku.
"Perih, ya?" Ajeng bertanya lugu.
"Iyalah, perih banget tahu..." jawabku ketus.
"Intan harus kuat, orang Nabi aja yang sering dilempari batu kafir Quraisy sampai giginya copot saja tahan, masak Intan yang cuma lecet gitu nggak tahan."
"Iya deh iya, Intan tahan..."
Mbak Shofi hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua.
"Ajeng, perban Ajeng juga sudah kotor. Biar Mbak ganti, ya!" kemudian Mbak Shofi membuka perban di kaki Ajeng dan terlihatlah luka di kaki Ajeng, ngeri. Ya Allah, maafkan Intan, ya Allah...
***
"Dua bulan di kandungan, kakek meninggalkannya.."
"Ye Intan, salah, yang benar, ayah, bukan kakek." Ajeng menghentikan laguku.
"Kok ayah, sih? Kakek!"
"Ayah! Lagunya kan gini, 'Dua bulan di kandungan. Wafat ayahandanya. Tahun gajah dilahirkan, yatim dengan kakeknya.' Kalau kakek meninggal dulu, terus pas yatim sama siapa?"
"Ya sama ayah!"
"Lho?"
Diam-diam Mbak Shofi dari tadi mengamati kami. Dia menghampiri kami sambil senyam-senyum.
"Mbak Shofi, anak yatim itu apa sih?"
"Iya, Mbak.. jelasin.." aku mendukung Ajeng sementara Mbak Shofi sepertinya terkejut dengan pertanyaan kami.
"Ajeng, Intan, semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal. Semua akan mati, termasuk manusia. Nah, ketika dalam satu keluarga ada seorang bapak yang wafat dan bapak itu sudah punya anak, maka anak itu disebut anak yatim. Jadi, anak yatim adalah anak yang ayahnya sudah meninggal dunia. Selain anak yatim, masih ada anak piatu. Anak piatu adalah anak yang ibunya sudah meninggal dunia."
"Berarti Intan anak yatim dong?"
"Ajeng juga,"
"Mbak Shofi juga," kata Mbak Shofi yang membuat kami kaget. "Maka dari itu, kita harus rajin beribadah dan mendoakan orang tua kita, agar mereka selalu senang di sana. Orang tua akan sedih kalau melihat anak-anaknya tidak beribadah, karena Allah akan murka. Orang tua juga membutuhkan doa kita, agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah. Doa anak yang shaleh akan menjadi pahala yang selalu mengalir untuk orang tua kita yang sudah meninggal. Jadi, meskipun orang tua kita sudah tidak bisa beribadah lagi, mereka bisa mendapat pahala dari doa yang kita lantunkan." Aku dan Ajeng manggut-manggut mendengar penjelasan Mbak Shofi ini.
"Nah, jadi yang benar ayah, bukan kakek. Jadi pas yatim itu sama kakeknya, kan ayahnya sudah meninggal." Kata Ajeng.
"Iya deh, Intan salah."
***
Ini hari pertama kami masuk sekolah, usai sarapan, kami sudah bersiap untuk berangkat. Aku sudah siap dengan sepatu juga tasku, meski tak ada yang baru. Aku mendekat ke sepeda merah mudaku, entah kenapa jantungku berdebar-debar membuat keringat dingin membasahi tanganku. Aku melihat lagi kejadian itu. Aku mendengar lagi suara sepeda terseret dan gemertak tulang. Kulihat Ajeng masih di dalam, segera aku berlari meninggalkan sepeda pink itu.
"Ajeng, ayo cepat! Sudah hampir telat." Kata Mas Ahmad. "Lho, kok belum pakai sepatu?"
"Mas Ahmad, kenapa kaki Ajeng tumbuhnya lama, ya? Ajeng kan ingin pakai sepatu pemberian Mas Ahmad."
"Ya sudah, dipakai saja di kaki yang satunya, kan masih bisa."
Lalu Ajeng melihat kakinya, "Ah, aneh..."
"Kenapa aneh?"
"Masak Ajeng cuma pakai sepatu satu?"
"Ajeng, Ajeng malah harusnya bersyukur. Banyak teman Ajeng yang sepatunya nggak baru. Pasti nanti banyak yang pakai sepatu lama. Tapi, kalau Ajeng nggak mau, juga nggak apa-apa."
"Iya deh, sambil nunggu kaki yang satunya tumbuh lagi."
Mas Ahmad mengangguk, dan membesarkan hatinya untuk tidak menangis di depan gadis 8 tahun itu.
            Aku terus berlari sekencang mungkin, hingga akhirnya, "Krakkk..." bunyi apa itu? langkahku terhenti. Kakiku tersangkut kawat berduri. Sepatuku robek. Ah kawat ini, untung cuma sedikit, masih bisa kupakai. Setelah kusingkirkan kawat yang ternyata merupakan kawat pagar yang sudah rusak itu, aku kembali melanjutkan perjalananku.
***
            Tak kusangka, aku terpilih menjadi anggota regu gerak jalan di lomba baris berbaris Agustus ini. Sejak dulu, aku dan Ajeng sangat ingin ikut regu baris. Tapi sayang, Ajeng dicoret karena ia tidak memungkinkan untuk ikut.
"Iya, tidak apa-apa, kok. Ajeng kan bisa ikut tahun depan. Sekarang, Intan yang harus berjuang lebih lagi, ya!" kata Ajeng setelah dia mendengar namanya tak disebut Pak Salim, pembina regu baris.
            Hari ini aku berlatih sampai sore.
"Intan, ayo cepat!" seru Retno karena Pak Salim sudah meminta anak-anak kembali ke barisan. Dengan buru-buru, kumasukkan kakiku ke sepatu kiriku. "Krakkk...", sobekan di sepatuku memanjang. Tak apa, masih bisa dipakai.
            Sampailah di hari H, tanggal 15 Agustus. Pagi-pagi aku sudah siap dengan seragam merah putihku, kaki putih yang cemerlang, dan sepatu.
"Ayo Intan, cepat! Mas Ahmad sudah mau berangkat tuh." Kata Ajeng.
"Iya cerewet..." tak lama Mas Ahmad juga memanggilku untuk bergegas.
"Tuh kan,"
Aku buru-buru memakai sepatuku.
"Yah, sobek. Mana bisa dipakai baris." Kataku setelah untuk ketiga kalinya sepatuku berbunyi, "krakk". Sekarang sepatuku itu sudah sobek sampai bawah. Mas Ahmad yang sudah menunggu lama akhirnya masuk untuk menghampiriku. "Sepatu Intan sobek, Mas." Kataku lemas.
"Ini, pakai sepatu Ajeng saja." Kata Ajeng sambil menyodorkan sepatunya yang masih mengkilat, karena baru dipakai tiga hari. Sepatu itu hadiah dari Mas Ahmad karena Ajeng dapat rangking 1 semester satu kemarin. Aku jadi sungkan memakainya, Ajeng hanya memakai sepatu yang kanan gara-gara kaki kirinya...
"Mas, sepatunya boleh kan Intan pinjem?" tanya Ajeng seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Tentu boleh, itu kan milik Ajeng.."
            Ini adalah saat yang paling kutunggu. Untuk pertama kalinya aku jadi anggota regu baris. Ternyata berbaris di jalan raya lebih enak. Luas sekali, tidak seperti saat latihan di jalanan desa atau di halaman sekolah. Aku berbaris dengan semangat, rasa bangga seolah memenuhi dadaku, terlebih dengan sepatu Ajeng ini. Sepatu itu seperti mempunyai kekuatan magis yang terus memacu semangatku. Kekuatan magis itu bernama rasa syukur.
            Ketika lewat di gang menuju rumah kami, aku melihat ada kawan-kawanku, Ibu Halimah, Mbak Shofi, Mas Ahmad, dan tentunya Ajeng. Aku melihat dia melambai-lambai kepadaku sambil tersenyum.
"Intan, semangat ya!" dia berteriak padaku, lalu melambai lagi ke arahku. Kubalas juga dengan lambaian dan senyuman yang membuatku langsung dapat semprotan dari kawan-kawanku.
***
"Mbak Shofi mau ke pasar? Intan ikut, ya!" kataku saat melihat Mbak Shofi bersiap dengan tas belanjanya. Aku ingin menjahitkan sepatuku yang sudah robek di tukang jahit yang ada di pasar. Alhamdulillah, kemarin setelah ikut lomba berbaris, aku dapat uang saku, lima ribu, cukuplah untuk menjahitkan sepatuku.
"Pak, bisa jahit sepatu?" tanyaku pada seorang bapak yang masih konsentrasi pada sebuah celana levis di mesin jahitnya. Beliau tersenyum, lalu mengangguk padaku.
            Beliau beralih tempat ke kursi panjang di sebelah mesin jahitnya, di sana ada sebuah kotak bertulis sol sepatu, berisi jarum dan benang-benang yang semuanya terlihat lebih besar dari yang biasanya aku lihat.
"Mana sepatunya?" kuserahkan sepatu kiriku yang sudah robek kemarin. Beliau mengamati sepatuku sambil godek-godek.
"Kemarin kena kawat, Pak!" kataku.
"Iya, masih bisa diperbaiki, kok." Sebelum menjahit beliau melinting celananya hingga selutut. Aneh, kaki bapak itu mengkilat.
"Ha, copot?" aku kaget setelah bapak itu menaruh kaki mengkilatnya di samping kursi panjang yang kami duduki.
"Ini namanya kaki palsu. Ini baru kaki bapak yang asli." Beliau menunjukkan kakinya yang sama seperti milik Ajeng. "Dengan kaki palsu itu, bapak bisa menjahit dengan mudah. Tapi kalau jahit sepatu sih, pakai tangan bisa. Maklum, bapak baru seminggu memakai kaki ini, jadi belum terbiasa." Terang bapak itu sambil senyum.
"Kalau pakai kaki itu, bapak bisa jalan tanpa enggrang, ya?"
"Iya dong, lari aja bisa, masak jalan tidak bisa."
Wah, kalau begitu Ajeng juga bisa memakai kaki mengkilat itu.
***
"Intan tadi ikut ke pasar, dia menjahitkan sepatunya yang sudah sobek." Kata Mbak Shofi. Mendengar namaku disebut, langkahku langsung terhenti.
"Ya mau bagaimana lagi, bulan ini belum ada donatur yang datang, panen pun juga belum waktunya." Jawab Ibu Halimah. Kali ini aku langsung mengurungkan niatku untuk usul pada Mbak Shofi dan Ibu Halimah untuk beli kaki palsu untuk Ajeng. Aku pun keluar dan kulihat ada Mas Ahmad sedang istirahat setelah memotong kayu.
"Mas, kita tidak bisa beli kaki untuk Ajeng, ya?"
"Kaki?" Mas Ahmad mengernyitkan dahi. Lalu aku menceritakan pertemuanku dengan bapak tukang jahit.
            Kami memang tinggal di panti asuhan. Ibu Halimah adalah pengasuh utama panti kami. Mas Ahmad dan Mbak Shofi adalah anak Ibu Halimah yang juga membantu mengurus kami. Meski hanya 40 anak asuh, panti kami sering dikunjungi para donatur yang ikut membantu. Selain itu, kami mempunyai dua ladang yang cukup bisa diandalkan.
***
Seharian ini aku tak melihat Mas Ahmad. Sejak sehabis sarapan tadi, Mas Ahmad seperti hantu yang tiba-tiba menghilang. Mbak Shofi saja, tadi jadi terpaksa mengantarkan Akbar yang sedang demam ke puskesmas pakai sepeda. Ah, daripada mencari Mas Ahmad nggak ada, aku cari Ajeng sajalah. Kebetulan, Ajeng sedang kasih makan ayam di teras samping.
"Ajeng, terimakasih ya sepatunya. Ini aku kembalikan, sepatuku udah aku jahit, kok!" kataku lalu kuserahkan sepatu Ajeng yang beberapa hari lalu kupakai lomba baris-berbaris. Sejujurnya karena sepatu itu aku jadi selalu ingat tentang kejadian Jumat sore itu.
"Kok kamu kembalikan?"
"Sepatuku masih bisa dipakai, kok. Lagian ini kan pemberian Mas Ahmad, kita kan harus menyenangkan orang yang telah memberi pada kita. Masih ingat kata Mbak Shofi, kan? itu bagian dari syukur. Jadi Ajeng harus pakai sepatu ini agar Mas Ahmad yang telah memberikannya merasa senang." Jelasku.
Siang menjelang dzuhur Mas Ahmad pulang.
"Mas Ahmad kok bawa kayu? Kayunya kan masih banyak, Mas.." kata Mbak Shofi yang sedang menjemur pakaian.
"Ini bukan untuk masak," jawab Mas Ahmad singkat lalu segera masuk ke dalam rumah. Setelah sholat dzuhur Mas Ahmad pergi lagi sambil membawa kayu tadi.
Dua hari kemudian, kami mendapat kejutan besar. Kaki palsu. Ajeng terlihat sangat bahagia ketika Mas Ahmad memakaikan kaki kayu itu ke kakinya.
"Terimakasih Mas Ahmad..." Ajeng lalu memeluk Mas Ahmad. Dalam hati aku juga ikut senang, akhirnya Ajeng kembali punya kaki yang lengkap, meski tak sesempurna dulu. Turut pula kusampaikan terimakasih pada Mas Ahmad yang telah mewujudkan ideku. Diam-diam Mas Ahmad menggunakan kayu yang sore kemarin lusa untuk membuatkan kaki Ajeng itu. Dan sore ini, Ajeng bisa bermain gobak sodor lagi bersama kami. Kulihat Mbak Shofi, Ibu halimah, dan tentunya Mas Ahmad ikut tersenyum senang. Meskipun tak ada darah mereka yang mengalir pada diri kami, tapi bagi kami, mereka adalah keluarga yang telah membesarkan kami dengan penuh kasih sayang. Pengganti para orangtua yang bahkan tak kami ketahui wajahnya seperti apa. Besoknya, Ajeng tak lagi memakai satu sepatu pemberian Mas Ahmad, tapi sepasang sepatu itu ia pakai semuanya.
***
Aku berjalan dengan dada disesaki kerinduan yang mendalam pada tempat ini. Pintunya yang selalu terbuka lebar, mempersilahkan siapapun untuk masuk. Salamku kembali menggema di rumah ini, masih cempreng sih, tapi tidak separah dulu. Beberapa saat kemudian, suara halus yang lama tak kudengar itu menjawab salamku. Tak lama seorang wanita keluar dari dalam rumah itu. Aku memeluknya dengan erat, rinduku buncah. Mbak Shofi, kakak yang tetap cantik meski 15 tahun telah berlalu. Mbak Shofi mengajakku masuk ke dalam dan menemui Ibu Halimah yang masih terlihat sehat di usianya yang terus bertambah. Di teras samping ada Mas Ahmad yang masih sama seperti dulu, mengajak anak-anak memuji rasul SAW. Semua sudah kutemui, tapi ada satu yang sampai saat ini belum tampak.
Aku berlari dengan dorongan satu kerinduan yang belum kutuntaskan. Kakiku berhenti setelah kulihat gadis berkerudung merah yang selalu menjadi warna kesukaannya. Itu rinduku. Aku segera mendekat kepadanya, tak ingin lama-lama. Dia menoleh setelah kupanggil namanya. Benar, dia adalah kerinduan yang lama kunantikan. Kami saling berpelukan melepas rindu.
"Wah, calon sarjana, sudah pulang nih." Kata-kata godaannya inilah yang selalu kurindukan.
"Ih, kamu juga kan.." Godaku balik. Kami saling tertawa. Dan setelah kami duduk bernostalgia di danau ini, kami baru beranjak. Dia, kerinduan yang masih tak berubah. Hanya tubuhnya yang kian besar, wajah yang semakin gemilang, dan enggrangnya yang bertambah panjang. Dia Ajeng, sahabat kecilku yang terpisah denganku setelah aku diadopsi sebuah keluarga tentara saat usiaku 10 tahun.
Ajeng adalah sahabat terbaik yang kumiliki. Kebaikannya yang sangat kusyukuri darinya adalah ketika dia tak sedikit pun membenciku setelah kejadian Jum'at sore itu. Kejadian yang selalu mengingatkanku agar tak membuat hati sahabatku itu bersedih.
***
Aku dan Ajeng bermain sepeda. Kami bersepeda dengan riangnya, hingga tanpa terasa kami sampai di tepi jalan raya. Karena saat itu kami sedang sangat bersemangat, kami ingin meneruskan sepedaan kami sampai ke seberang jalan raya itu. Aku pun menyeberang lebih dulu. Tapi saat giliran Ajeng akan menyeberang, sebuah truk melaju kencang. Brak, sepeda ungu Ajeng terseret dan tubuh Ajeng terpental. Truk yang tak terkendali itu mencoba membanting stir, tapi rodanya tak sengaja turut melindas kaki kiri Ajeng tanpa ampun. Tubuhku sudah kaku dan dingin bagai balok es, tak bergerak sama sekali. Sejak saat itu setiap kudekati sepeda, rasa yang sama selalu mendatangiku. Itulah Jum'at sore yang selalu menghantuiku. Andai, aku tidak mengajaknya main sampai di jalan raya.
***
"Oh ya, beberapa hari lalu Mas Ahmad, bilang kalau kaki palsuku itu adalah ide darimu. Ah tak kusangka, brilian juga idemu itu."
"Ah, kau ini."
"Tapi, terimakasih ya sudah memberiku kaki palsu itu."
"Bukan dariku, tapi Mas Ahmad."
"Iya, Mas Ahmad. Tapi idenya kan darimu." Kata Ajeng. "Saking senangnya aku pada kaki itu, aku masih menyimpannya, lho!"
"Oh ya?" tanyaku terkejut, itu kan sudah 15 tahun lalu dan kaki itu ternyata masih ada.
"Kamu masih ingat sepatu dari Mas Ahmad?"
"Iyalah, yang aku pakai baris."
"Itu juga masih aku simpan, lho! Setiap melihat sepatu itu, aku selalu teringat kebaikan-kebaikan Mas Ahmad dan keluarga Ibu Halimah yang tak terkira banyaknya. Waktu itu aku sangat senang sekali Mas Ahmad memberikannya untukku. Mereka orang-orang yang sangat baik, tak banyak yang bisa kuberikan untuk mereka. Semoga Allah selalu memuliakan mereka." Kata Ajeng sambil menatap ke arahku dengan tatapan tulusnya. Sejenak kami berhenti, merasakan relung ketulusan yang dalam.
"Amin,"
"Oh ya, tiap melihat kaki palsu itu, aku juga selalu teringat kamu. Kamu memang sahabatku terbaik." Kata Ajeng memecah kekakuan sesaat tadi, lalu dia memelukku erat.
Ah ya, sepatu itu. Karena sepatu itu Ajeng mendapatkan kaki palsunya. Sepatu itulah yang secara tidak sengaja mempertemukanku pada bapak si tukang jahit dengan kaki palsunya. Syukurlah bila dia benar menyukainya, setidaknya setelah Mas Ahmad memberikan Ajeng kaki itu aku merasa aku telah mengembalikan separuh kebahagiaan Ajeng yang telah hilang. Dengan kaki itu ia bisa berlarian lagi, meski dulu semua orang berpikir itu tidak mungkin. Sepatu itu juga telah membantu meringankan rasa bersalahku pada Ajeng pascaperistiwa pedih sore itu.

1 komentar: