Aku dan Sepatu Ajeng
Malam ini hujan turun sangat deras tapi aku tak
kunjung bisa tidur. Banyak hal yang sedang kupikirkan.
***
Sisa
hujan semalam masih menempel di kaca jendela kamarku. Dari balik jendela itu,
aku melihat sebuah mobil masuk ke halaman. Itu pasti dia, buru-buru aku ikut
mendekat ke mobil itu seperti yang lain.
Mas Ahmad
keluar dari pintu depan bersama Mbak Shofi. Mbak Shofi langsung menuju pintu
belakang mobil. Sementara itu Mas Ahmad membuka pintu, sepertinya ia sedang
mengambil sesuatu. Apa yang Mas Ahmad ambil? Dan... tampaklah, Mas Ahmad
menggendong seseorang yang sangat kukenal. Mbak Shofi mendekat dan Mas Ahmad
mendudukkan gadis berkerudung merah itu. Dengan didorong Mbak Shofi, kulihat
penampilan baru Ajeng –gadis berkerudung merah yang digendong Mas Ahmad, dengan
kursi roda. Ini tidak mungkin....
***
Semilir
angin meniup air danau membentuk riak-riak kecil di permukaannya. Membuat danau
ini terasa lebih indah. Mataku seakan tak ingin beranjak darinya. Tapi
pandanganku segera beralih pada seseorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.
"Mbak Shofi?"
"Kok sendirian? Mbak boleh ikut duduk di sini,
kan?" aku mengangguk. Lalu mataku kembali tertuju pada danau kecil itu.
"Dingin, ya?" lagi, aku mengangguk sementara mataku seolah sudah
menempel lekat pada danau di depanku. "Dingin-dingin begini, makan sup
enak kali ya? ini untuk Intan." Kali ini lem di mataku seolah langsung
hilang, aku memandang Mbak Shofi yang menyodorkan semangkok sup hangat
kepadaku. "Ayo kita makan! Mbak tadi juga belum makan." Aku masih
diam. "Lho, kok diam? nanti supnya dingin, lho!" Kata Mbak Shofi
setelah menelan sesendok supnya. Mataku berkaca-kaca, karena sudah tak kuat
lagi, aku langsung memeluk Mbak Shofi. Kucurahkan air mataku yang sudah sejak
kemarin kutahan, sementara tangan Mbak Shofi membelai rambutku. Selalu, dengan
penuh kasih sayang.
Sepulang
dari danau, aku langsung berlari masuk ke rumah.
"Ajeng...." suara cemprengku seketika memenuhi
setiap sudut rumah.
"Intan.." suara itu, aku mencari-carinya. Aku
melihat Ajeng yang duduk di samping Mas Ahmad. Segera aku ke sana.
"Ajeng, Ajeng mau maafin Intan, kan?" Dia
mengangguk. Kami pun saling berpelukan, rasanya sangat lega. "Aku kangen
kamu, Jeng..." kataku dalam hati.
***
Malam
ini, usai sholat isya' kami berkumpul di ruang tengah.
"Kene tak critani, kanggo sebo mengko sore..."
lagu ini selalu menjadi pembuka acara dongeng malam minggu yang selalu kami
nyanyikan bersama-sama.
Seperti biasa, di hari Sabtu Mas Ahmad akan
menjadi dalang kami yang akan membawakan kisah-kisah Nabi. Mas Ahmad adalah
pendongeng nomor satu yang membuat kami tidak sekalipun merasa bosan.
Setelahnya, Mas Ahmad akan mengajak kami bersama-sama bersholawat. Kalau sudah
begitu, kami semua pasti langsung bersemangat. Selain pandai bercerita, Mas Ahmad
cocok jadi penyanyi. Suaranya bagus, lho!
"Nah, karena sholawatannya sudah selesai, berarti
sekarang waktunya untuk tidur. Ayo, semua segera gosok gigi, wudhu, lalu langsung
tidur, ya! besok kan harus ke sekolah." Kata Mbak Shofi.
"Yah, Mbak Shofi, besok kan sudah liburan!"
seruku diikuti tawa anak-anak yang lain. Dan Mbak Shofi pipinya langsung
memerah dan senyam-senyum malu.
"Kalau begitu, kalian harus bantu ibu di ladang.
Ayo, sekarang tidur!" tiba-tiba Ibu Halimah menyahut.
Seharian
ini kami berada di ladang. Mulai dari mencabut rumput di sekitar tanaman
kacang, hingga panen ketela. Ketela itu kami kumpulkan di gerobak yang akan
didorong Mas Ahmad. Setelah gerobak itu penuh, kami pun pulang.
"Aduh," aku tersandung batu, dan kakiku terluka.
Melihatku jatuh, Mas Ahmad menghentikan gerobaknya. "Yah, berdarah.."
kataku setelah kulinting celanaku yang kini berlubang lututnya.
"Intan naik ke gerobak, ya?"
"Nggak, Intan masih kuat, kok."
Pada
akhirnya aku sudah tidak kuat jalan lagi, karena luka di lututku ini membuat
kakiku jadi kaku, susah digerakkan. Mas Ahmad pun menaikkan aku ke gerobaknya
yang penuh ketela dan sudah ada Ajeng yang nggak mungkin jalan di jalan terjal
perbukitan.
"Wah, Intan kakimu luka. Ayo sini Mbak obatin!"
kata Mbak Shofi setelah aku diturunkan Mas Ahmad dari gerobak. Mbak Shofi
segera mengambil obat ke dalam rumah sedangkan aku dan Ajeng menunggu di teras.
"Aduh, perih, perih!" kataku saat Mbak Shofi
menyentuhkan kapas yang sudah diberi cairan pembersih luka ke lukaku.
"Perih, ya?" Ajeng bertanya lugu.
"Iyalah, perih banget tahu..." jawabku ketus.
"Intan harus kuat, orang Nabi aja yang sering
dilempari batu kafir Quraisy sampai giginya copot saja tahan, masak Intan yang
cuma lecet gitu nggak tahan."
"Iya deh iya, Intan tahan..."
Mbak Shofi hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua.
"Ajeng, perban Ajeng juga sudah kotor. Biar Mbak
ganti, ya!" kemudian Mbak Shofi membuka perban di kaki Ajeng dan
terlihatlah luka di kaki Ajeng, ngeri. Ya Allah, maafkan Intan, ya Allah...
***
"Dua bulan di kandungan, kakek
meninggalkannya.."
"Ye Intan, salah, yang benar, ayah, bukan
kakek." Ajeng menghentikan laguku.
"Kok ayah, sih? Kakek!"
"Ayah! Lagunya kan gini, 'Dua bulan di kandungan.
Wafat ayahandanya. Tahun gajah dilahirkan, yatim dengan kakeknya.' Kalau kakek
meninggal dulu, terus pas yatim sama siapa?"
"Ya sama ayah!"
"Lho?"
Diam-diam Mbak Shofi dari tadi mengamati kami. Dia
menghampiri kami sambil senyam-senyum.
"Mbak Shofi, anak yatim itu apa sih?"
"Iya, Mbak.. jelasin.." aku
mendukung Ajeng sementara Mbak Shofi sepertinya terkejut dengan pertanyaan
kami.
"Ajeng, Intan, semua yang ada di dunia
ini tidak ada yang kekal. Semua akan mati, termasuk manusia. Nah, ketika dalam
satu keluarga ada seorang bapak yang wafat dan bapak itu sudah punya anak, maka
anak itu disebut anak yatim. Jadi, anak yatim adalah anak yang ayahnya sudah
meninggal dunia. Selain anak yatim, masih ada anak piatu. Anak piatu adalah
anak yang ibunya sudah meninggal dunia."
"Berarti Intan anak yatim dong?"
"Ajeng juga,"
"Mbak Shofi juga," kata Mbak Shofi
yang membuat kami kaget. "Maka dari itu, kita harus rajin beribadah dan
mendoakan orang tua kita, agar mereka selalu senang di sana. Orang tua akan
sedih kalau melihat anak-anaknya tidak beribadah, karena Allah akan murka. Orang
tua juga membutuhkan doa kita, agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah. Doa anak
yang shaleh akan menjadi pahala yang selalu mengalir untuk orang tua kita yang
sudah meninggal. Jadi, meskipun orang tua kita sudah tidak bisa beribadah lagi,
mereka bisa mendapat pahala dari doa yang kita lantunkan." Aku dan Ajeng
manggut-manggut mendengar penjelasan Mbak Shofi ini.
"Nah, jadi yang benar ayah, bukan kakek.
Jadi pas yatim itu sama kakeknya, kan ayahnya sudah meninggal." Kata
Ajeng.
"Iya deh, Intan salah."
***
Ini hari pertama kami masuk sekolah, usai
sarapan, kami sudah bersiap untuk berangkat. Aku sudah siap dengan sepatu juga
tasku, meski tak ada yang baru. Aku mendekat ke sepeda merah mudaku, entah
kenapa jantungku berdebar-debar membuat keringat dingin membasahi tanganku. Aku
melihat lagi kejadian itu. Aku mendengar lagi suara sepeda terseret dan
gemertak tulang. Kulihat Ajeng masih di dalam, segera aku berlari meninggalkan
sepeda pink itu.
"Ajeng, ayo cepat! Sudah hampir
telat." Kata Mas Ahmad. "Lho, kok belum pakai sepatu?"
"Mas Ahmad, kenapa kaki Ajeng tumbuhnya
lama, ya? Ajeng kan ingin pakai sepatu pemberian Mas Ahmad."
"Ya sudah, dipakai saja di kaki yang
satunya, kan masih bisa."
Lalu Ajeng melihat kakinya, "Ah,
aneh..."
"Kenapa aneh?"
"Masak Ajeng cuma pakai sepatu satu?"
"Ajeng, Ajeng malah harusnya bersyukur. Banyak teman
Ajeng yang sepatunya nggak baru. Pasti nanti banyak yang pakai sepatu lama.
Tapi, kalau Ajeng nggak mau, juga nggak apa-apa."
"Iya deh, sambil nunggu kaki yang satunya tumbuh lagi."
Mas Ahmad mengangguk, dan membesarkan hatinya untuk tidak
menangis di depan gadis 8 tahun itu.
Aku
terus berlari sekencang mungkin, hingga akhirnya, "Krakkk..." bunyi
apa itu? langkahku terhenti. Kakiku tersangkut kawat berduri. Sepatuku robek.
Ah kawat ini, untung cuma sedikit, masih bisa kupakai. Setelah kusingkirkan
kawat yang ternyata merupakan kawat pagar yang sudah rusak itu, aku kembali
melanjutkan perjalananku.
***
Tak
kusangka, aku terpilih menjadi anggota regu gerak jalan di lomba baris berbaris
Agustus ini. Sejak dulu, aku dan Ajeng sangat ingin ikut regu baris. Tapi
sayang, Ajeng dicoret karena ia tidak memungkinkan untuk ikut.
"Iya, tidak apa-apa, kok. Ajeng kan bisa ikut tahun
depan. Sekarang, Intan yang harus berjuang lebih lagi, ya!" kata Ajeng
setelah dia mendengar namanya tak disebut Pak Salim, pembina regu baris.
Hari ini
aku berlatih sampai sore.
"Intan, ayo cepat!" seru Retno karena Pak Salim
sudah meminta anak-anak kembali ke barisan. Dengan buru-buru, kumasukkan kakiku
ke sepatu kiriku. "Krakkk...", sobekan di sepatuku memanjang. Tak
apa, masih bisa dipakai.
Sampailah
di hari H, tanggal 15 Agustus. Pagi-pagi aku sudah siap dengan seragam merah
putihku, kaki putih yang cemerlang, dan sepatu.
"Ayo Intan, cepat! Mas Ahmad sudah mau berangkat
tuh." Kata Ajeng.
"Iya cerewet..." tak lama Mas Ahmad juga
memanggilku untuk bergegas.
"Tuh kan,"
Aku buru-buru memakai sepatuku.
"Yah, sobek. Mana bisa dipakai baris." Kataku
setelah untuk ketiga kalinya sepatuku berbunyi, "krakk". Sekarang
sepatuku itu sudah sobek sampai bawah. Mas Ahmad yang sudah menunggu lama
akhirnya masuk untuk menghampiriku. "Sepatu Intan sobek, Mas." Kataku
lemas.
"Ini, pakai sepatu Ajeng saja." Kata Ajeng
sambil menyodorkan sepatunya yang masih mengkilat, karena baru dipakai tiga
hari. Sepatu itu hadiah dari Mas Ahmad karena Ajeng dapat rangking 1 semester
satu kemarin. Aku jadi sungkan memakainya, Ajeng hanya memakai sepatu yang
kanan gara-gara kaki kirinya...
"Mas, sepatunya boleh kan Intan pinjem?" tanya
Ajeng seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Tentu boleh, itu kan milik Ajeng.."
Ini adalah saat yang paling
kutunggu. Untuk pertama kalinya aku jadi anggota regu baris. Ternyata berbaris
di jalan raya lebih enak. Luas sekali, tidak seperti saat latihan di jalanan
desa atau di halaman sekolah. Aku berbaris dengan semangat, rasa bangga seolah
memenuhi dadaku, terlebih dengan sepatu Ajeng ini. Sepatu itu seperti mempunyai
kekuatan magis yang terus memacu semangatku. Kekuatan magis itu bernama rasa
syukur.
Ketika lewat di gang menuju rumah
kami, aku melihat ada kawan-kawanku, Ibu Halimah, Mbak Shofi, Mas Ahmad, dan
tentunya Ajeng. Aku melihat dia melambai-lambai kepadaku sambil tersenyum.
"Intan,
semangat ya!" dia berteriak padaku, lalu melambai lagi ke arahku. Kubalas
juga dengan lambaian dan senyuman yang membuatku langsung dapat semprotan dari
kawan-kawanku.
***
"Mbak Shofi mau ke pasar? Intan ikut, ya!" kataku saat melihat
Mbak Shofi bersiap dengan tas belanjanya. Aku ingin menjahitkan sepatuku yang
sudah robek di tukang jahit yang ada di pasar. Alhamdulillah, kemarin setelah
ikut lomba berbaris, aku dapat uang saku, lima ribu, cukuplah untuk menjahitkan
sepatuku.
"Pak, bisa jahit sepatu?" tanyaku pada seorang bapak yang masih
konsentrasi pada sebuah celana levis di mesin jahitnya. Beliau tersenyum, lalu
mengangguk padaku.
Beliau beralih tempat ke
kursi panjang di sebelah mesin jahitnya, di sana ada sebuah kotak bertulis sol
sepatu, berisi jarum dan benang-benang yang semuanya terlihat lebih besar dari
yang biasanya aku lihat.
"Mana sepatunya?" kuserahkan sepatu kiriku yang sudah robek
kemarin. Beliau mengamati sepatuku sambil godek-godek.
"Kemarin kena kawat, Pak!" kataku.
"Iya, masih bisa diperbaiki, kok." Sebelum menjahit beliau
melinting celananya hingga selutut. Aneh, kaki bapak itu mengkilat.
"Ha, copot?" aku kaget setelah bapak itu menaruh kaki
mengkilatnya di samping kursi panjang yang kami duduki.
"Ini namanya kaki palsu. Ini baru kaki bapak yang asli." Beliau
menunjukkan kakinya yang sama seperti milik Ajeng. "Dengan kaki palsu itu,
bapak bisa menjahit dengan mudah. Tapi kalau jahit sepatu sih, pakai tangan
bisa. Maklum, bapak baru seminggu memakai kaki ini, jadi belum terbiasa."
Terang bapak itu sambil senyum.
"Kalau pakai kaki itu, bapak bisa jalan tanpa enggrang, ya?"
"Iya dong, lari aja bisa, masak jalan tidak bisa."
Wah, kalau begitu Ajeng juga bisa memakai kaki mengkilat itu.
***
"Intan tadi ikut ke pasar, dia menjahitkan sepatunya yang sudah sobek."
Kata Mbak Shofi. Mendengar namaku disebut, langkahku langsung terhenti.
"Ya mau bagaimana lagi, bulan ini belum ada donatur yang datang, panen
pun juga belum waktunya." Jawab Ibu Halimah. Kali ini aku langsung
mengurungkan niatku untuk usul pada Mbak Shofi dan Ibu Halimah untuk beli kaki
palsu untuk Ajeng. Aku pun keluar dan kulihat ada Mas Ahmad sedang istirahat
setelah memotong kayu.
"Mas, kita tidak bisa beli kaki untuk Ajeng, ya?"
"Kaki?" Mas Ahmad mengernyitkan dahi. Lalu aku menceritakan
pertemuanku dengan bapak tukang jahit.
Kami memang tinggal di
panti asuhan. Ibu Halimah adalah pengasuh utama panti kami. Mas Ahmad dan Mbak Shofi
adalah anak Ibu Halimah yang juga membantu mengurus kami. Meski hanya 40 anak
asuh, panti kami sering dikunjungi para donatur yang ikut membantu. Selain itu,
kami mempunyai dua ladang yang cukup bisa diandalkan.
***
Seharian ini aku tak melihat Mas Ahmad. Sejak
sehabis sarapan tadi, Mas Ahmad seperti hantu yang tiba-tiba menghilang. Mbak Shofi
saja, tadi jadi terpaksa mengantarkan Akbar yang sedang demam ke puskesmas
pakai sepeda. Ah, daripada mencari Mas Ahmad nggak ada, aku cari Ajeng sajalah.
Kebetulan, Ajeng sedang kasih makan ayam di teras samping.
"Ajeng, terimakasih ya sepatunya. Ini aku
kembalikan, sepatuku udah aku jahit, kok!" kataku lalu kuserahkan sepatu Ajeng
yang beberapa hari lalu kupakai lomba baris-berbaris. Sejujurnya karena sepatu
itu aku jadi selalu ingat tentang kejadian Jumat sore itu.
"Kok kamu kembalikan?"
"Sepatuku masih bisa dipakai, kok. Lagian ini kan
pemberian Mas Ahmad, kita kan harus menyenangkan orang yang telah memberi pada kita.
Masih ingat kata Mbak Shofi, kan? itu bagian dari syukur. Jadi Ajeng harus
pakai sepatu ini agar Mas Ahmad yang telah memberikannya merasa senang."
Jelasku.
Siang menjelang dzuhur Mas Ahmad pulang.
"Mas Ahmad kok bawa kayu? Kayunya kan masih banyak,
Mas.." kata Mbak Shofi yang sedang menjemur pakaian.
"Ini bukan untuk masak," jawab Mas Ahmad
singkat lalu segera masuk ke dalam rumah. Setelah sholat dzuhur Mas Ahmad pergi
lagi sambil membawa kayu tadi.
Dua hari kemudian, kami mendapat kejutan
besar. Kaki palsu. Ajeng terlihat sangat bahagia ketika Mas Ahmad memakaikan
kaki kayu itu ke kakinya.
"Terimakasih Mas Ahmad..." Ajeng lalu memeluk Mas
Ahmad. Dalam hati aku juga ikut senang, akhirnya Ajeng kembali punya kaki yang
lengkap, meski tak sesempurna dulu. Turut pula kusampaikan terimakasih pada Mas
Ahmad yang telah mewujudkan ideku. Diam-diam Mas Ahmad menggunakan kayu yang
sore kemarin lusa untuk membuatkan kaki Ajeng itu. Dan sore ini, Ajeng bisa
bermain gobak sodor lagi bersama kami. Kulihat Mbak Shofi, Ibu halimah, dan
tentunya Mas Ahmad ikut tersenyum senang. Meskipun tak ada darah mereka yang
mengalir pada diri kami, tapi bagi kami, mereka adalah keluarga yang telah
membesarkan kami dengan penuh kasih sayang. Pengganti para orangtua yang bahkan
tak kami ketahui wajahnya seperti apa. Besoknya, Ajeng tak lagi memakai satu
sepatu pemberian Mas Ahmad, tapi sepasang sepatu itu ia pakai semuanya.
***
Aku berjalan dengan dada disesaki kerinduan
yang mendalam pada tempat ini. Pintunya yang selalu terbuka lebar,
mempersilahkan siapapun untuk masuk. Salamku kembali menggema di rumah ini,
masih cempreng sih, tapi tidak separah dulu. Beberapa saat kemudian, suara
halus yang lama tak kudengar itu menjawab salamku. Tak lama seorang wanita
keluar dari dalam rumah itu. Aku memeluknya dengan erat, rinduku buncah. Mbak Shofi,
kakak yang tetap cantik meski 15 tahun telah berlalu. Mbak Shofi mengajakku
masuk ke dalam dan menemui Ibu Halimah yang masih terlihat sehat di usianya
yang terus bertambah. Di teras samping ada Mas Ahmad yang masih sama seperti
dulu, mengajak anak-anak memuji rasul SAW. Semua sudah kutemui, tapi ada satu
yang sampai saat ini belum tampak.
Aku berlari dengan dorongan satu kerinduan
yang belum kutuntaskan. Kakiku berhenti setelah kulihat gadis berkerudung merah
yang selalu menjadi warna kesukaannya. Itu rinduku. Aku segera mendekat
kepadanya, tak ingin lama-lama. Dia menoleh setelah kupanggil namanya. Benar,
dia adalah kerinduan yang lama kunantikan. Kami saling berpelukan melepas
rindu.
"Wah, calon sarjana, sudah pulang nih."
Kata-kata godaannya inilah yang selalu kurindukan.
"Ih, kamu juga kan.." Godaku balik. Kami saling
tertawa. Dan setelah kami duduk bernostalgia di danau ini, kami baru beranjak.
Dia, kerinduan yang masih tak berubah. Hanya tubuhnya yang kian besar, wajah
yang semakin gemilang, dan enggrangnya yang bertambah panjang. Dia Ajeng, sahabat
kecilku yang terpisah denganku setelah aku diadopsi sebuah keluarga tentara
saat usiaku 10 tahun.
Ajeng adalah sahabat terbaik yang kumiliki.
Kebaikannya yang sangat kusyukuri darinya adalah ketika dia tak sedikit pun
membenciku setelah kejadian Jum'at sore itu. Kejadian yang selalu
mengingatkanku agar tak membuat hati sahabatku itu bersedih.
***
Aku dan Ajeng bermain sepeda. Kami bersepeda
dengan riangnya, hingga tanpa terasa kami sampai di tepi jalan raya. Karena
saat itu kami sedang sangat bersemangat, kami ingin meneruskan sepedaan kami
sampai ke seberang jalan raya itu. Aku pun menyeberang lebih dulu. Tapi saat
giliran Ajeng akan menyeberang, sebuah truk melaju kencang. Brak, sepeda ungu Ajeng
terseret dan tubuh Ajeng terpental. Truk yang tak terkendali itu mencoba
membanting stir, tapi rodanya tak sengaja turut melindas kaki kiri Ajeng tanpa
ampun. Tubuhku sudah kaku dan dingin bagai balok es, tak bergerak sama sekali.
Sejak saat itu setiap kudekati sepeda, rasa yang sama selalu mendatangiku.
Itulah Jum'at sore yang selalu menghantuiku. Andai, aku tidak mengajaknya main
sampai di jalan raya.
***
"Oh ya, beberapa hari lalu Mas Ahmad, bilang kalau
kaki palsuku itu adalah ide darimu. Ah tak kusangka, brilian juga idemu
itu."
"Ah, kau ini."
"Tapi, terimakasih ya sudah memberiku kaki palsu
itu."
"Bukan dariku, tapi Mas Ahmad."
"Iya, Mas Ahmad. Tapi idenya kan darimu." Kata Ajeng.
"Saking senangnya aku pada kaki itu, aku masih menyimpannya, lho!"
"Oh ya?" tanyaku terkejut, itu kan sudah 15
tahun lalu dan kaki itu ternyata masih ada.
"Kamu masih ingat sepatu dari Mas Ahmad?"
"Iyalah, yang aku pakai baris."
"Itu juga masih aku simpan, lho! Setiap melihat
sepatu itu, aku selalu teringat kebaikan-kebaikan Mas Ahmad dan keluarga Ibu
Halimah yang tak terkira banyaknya. Waktu itu aku sangat senang sekali Mas Ahmad
memberikannya untukku. Mereka orang-orang yang sangat baik, tak banyak yang
bisa kuberikan untuk mereka. Semoga Allah selalu memuliakan mereka." Kata
Ajeng sambil menatap ke arahku dengan tatapan tulusnya. Sejenak kami berhenti,
merasakan relung ketulusan yang dalam.
"Amin,"
"Oh ya, tiap melihat kaki palsu itu, aku juga selalu
teringat kamu. Kamu memang sahabatku terbaik." Kata Ajeng memecah kekakuan
sesaat tadi, lalu dia memelukku erat.
Ah ya, sepatu itu. Karena sepatu itu Ajeng
mendapatkan kaki palsunya. Sepatu itulah yang secara tidak sengaja mempertemukanku
pada bapak si tukang jahit dengan kaki palsunya. Syukurlah bila dia benar
menyukainya, setidaknya setelah Mas Ahmad memberikan Ajeng kaki itu aku merasa
aku telah mengembalikan separuh kebahagiaan Ajeng yang telah hilang. Dengan
kaki itu ia bisa berlarian lagi, meski dulu semua orang berpikir itu tidak mungkin.
Sepatu itu juga telah membantu meringankan rasa bersalahku pada Ajeng pascaperistiwa
pedih sore itu.
Good Job!! Semangat nulis lagi,ya. :)😊
BalasHapus