Kemana Perginya Si Apel?
Hari begitu penat, panas disertai
angin yang bertiup kencang, menggulung debu-debu jalanan yang kerontang. Sejenak
kemudian, terdengar teriakan dari belakang. Menghancurkan lamunanku yang sudah
ingin segera keluar dari bus yang gerah, berjejalan penumpang ini.
“Ayo siap-siap yang perempatan,”
aba-aba dari Pak kondektur mengingatkan penumpangnya.
Tak lama, berhentilah bus itu.
Kemudian penumpang-penumpang mulai antri keluar dari Kawan Kita, termasuk juga
aku. Semilir angin dari selatan menyambutku, cukup menyejukkan meskipun tetap
membawa hawa kemarau yang kering. Aku pun segera bergegas, mengingat perjalanan
panjang masih menungguku.
Dengan peluh yang mulai bercucuran
aku mengayuh sepedaku ke barat, menantang matahari yang mulai bersiap untuk
terbenam namun masih panas menyengat. Pelan-pelan kulewati jalanan yang mulai
menanjak itu.
Tanjakan telah terlewati, hanya
tinggal membelah jalan di tengah kebun tebu yang mulai meninggi batangnya di
depan sana. Lalu sayup-sayup mulai terdengar di telingaku sorakan juga bunyi
peluit yang bertambah mendekat. Semakin kupercepat kayuhanku agar tak
ketinggalan.
Segera saja kuparkir sepedaku dekat
pohon mangga di pinggir lapangan kemudian bergegas kuhampiri seorang anak
gawang yang baru saja menyodorkan bola ke dalam lapangan.
“Berapa skornya?” tanyaku penasaran
pada Litya, si gadis anak gawang. “Ah kamu, kenapa baru datang? Padahal seru
banget, semoga ini jadi gol, skornya masih kacamata,” jawabnya sambil terus
memandang pada segerombol pemain yang tengah berdiskusi mengambil ancang-ancang
tendangan bebas.
“Penalti?” tanyaku setelah kuamati
beberapa pemain bola itu.
“ Iya. Pokoknya si Apel harus
cetak gol,” jawab Litya yang masih serius mengamati ke dalam lapangan. “Ayo Apel,
bobol aja!” teriak Litya, yang membuat si Apel menengok ke arah kami
berdua, kemudian dia mengacungkan jempol tetap dengan muka seriusnya.
Tendangannya yang melambung jauh di
atas gawang, membuat penonton kecewa. Termasuk aku dan Litya, yang tentu sangat
berharap pada bocah jakung berambut spiky
itu. Sementara itu, si Apel tampak lesu dengan wajah kecewanya. Ia tak
berhasil mengubah skor.
Hingga pertandingan berakhir, skor tetap seri 0-0. Dengan wajah
tertunduk, si Apel berjalan pelan ke pinggir lapangan. Kusodorkan
padanya segelas air mineral setelah ia duduk di sampingku. Dia terlihat begitu
kelelahan.
“Heh Apel, gimana sih kamu? Tadi kan penalti, kenapa nggak
gol? Kesempatan kita kan jadi tambah sedikit. Pokoknya kita harus menang
tandang besok.” Celoteh Litya yang baru datang setelah memungut bola.
“Ah sudahlah, kekalahan kan
kemenangan yang tertunda.” Aku mencoba menengahi. Tiba-tiba aku mengingat
sesuatu, sekantong apel yang ada di tasku. Segera kuambil buah itu, dan kuberikan
pada si Apel. “Ini pesananmu. Lupakan dulu hasil hari ini, sekarang kita
makan bareng-bareng, ok?” si Apel lalu mengangguk, tapi masih dengan
muka yang masam.
Tiap ke sekolah aku selalu
melewati kios buah, sehingga beberapa hari sekali si Apel memang sering
menitip untuk dibelikan buah apel kesukaannya, seperti hari ini. Karena
kegemarannya akan apel itulah yang akhirnya membuat dia lebih akrab disapa si
Apel daripada Toni, nama aslinya.
Saat aku akan memberikan apel itu ke si Apel, tiba-tiba
Litya menyahutnya lalu kembali berkomentar, “kalau desa kita kalah, tidak akan
ada lagi apel untukmu,” begitu ancamnya.
“Iya cerewet..” ledek si Apel yang membuat Litya cemberut.
“Sudahlah, jangan begitu. Kalah menang itu bukan masalah, semua
yang menentukan Tuhan. Saling mendukung, itu yang terpenting.” Kataku. “Tapi ini bukan apelmu,” lanjutku
sembari mengambil sebuah apel hijau dari tangan Litya. Kemudian kuberikan buah
itu ke si Apel, sementara Litya memandangku heran dan si Apel
juga menerimanya dengan ekspresi yang tak jauh beda, “ini baru untukmu,” dan
kini semua telah kebagian. Bertiga kami menikmati senja yang hangat di bawah
pohon mangga, sehangat persahabatan antara aku, Litya, dan si Apel
tentunya.
Akhirnya berpisahlah kami bertiga di depan rumah kami
masing-masing. Kami memang saling bertetangga. Mengenal dan bersama sejak
kecil, kami pun selalu bersekolah di tempat yang sama. Hingga akhirnya saat
SMP, aku harus menuntut ilmu di tempat yang tak sama dengan Litya juga si Apel.
Tetapi tetap, persahabatan kami tak pernah luntur.
Baru saja aku masuk ke rumah, sudah terdengar dari seberang sana.
Suara keras dari ayah si Apel yang menyambut kedatangannya dengan rasa
marah.
“Tiap hari pulang jam segini, bola terus yang kamu urusin. Iya
kalau menang, wong kalah terus masih
aja dilanjutin. Sini tak buange sepatumu, sini!” dan berlanjutlah ucapan
singkat itu menjadi keributan kecil. Entah apa selanjutnya yang dialami si
Apel, yang jelas dia terdengar gagal mempertahankan sepatunya.
Aku pun bergegas ke kamar, lalu kutaruh tasku yang berat itu di
atas meja. Tiba-tiba ponselku berdering, satu sms masuk, dari Litya. Kubaca
pesannya, “Kasihan si Apel, sepatunya dibakar ayahnya,” begitu tulis
Litya. Aku sangat terkejut, lalu kuintip dari jendela kamarku yang tepat di
depan rumah si Apel. Dan, benar saja apa yang dikatakan Litya.
Tiga hari kemudian...
Sore ini, tim desa kami akan melanjutkan pertandingan penentu
menuju babak semifinal turnamen antardesa di kecamatan kami. Awalnya aku tak
yakin si Apel akan ikut, tapi nyatanya dia malah sudah siap di lapangan.
Juga dengan sepatu yang sudah terpasang di kakinya. Aku dan Litya dibuatnya
terkaget, bagaimana itu bisa terjadi?
Pertandingan berlangsung alot, saling jual beli serangan. Namun
babak pertama harus berakhir tanpa satupun gol yang tercetak dari kedua kubu.
Babak kedua dimulai, tim desaku terus menyerang lawannya. Hasilnya
di menit 57, si Apel berhasil menyundul bola dan menjebloskannya ke
gawang desa sebelah. Semua bersorak gembira.
Tapi kami langsung dibungkam, selang tiga menit tim lawan
mengimbangi skor kami. Semangat lawan mulai kembali bangkit. Tapi beruntung,
setelah terlepas dari offside si Apel dengan sukses kembali
menyarangkan golnya. Senyumnya yang lama tak terlihat, kini kembali berkembang
setelah sekian lama ia lebih sering murung. Tak ketinggalan selebrasi khasnya
yang juga lama tak tampak, love line.
Seminggu
kemudian...
Ayah pergi ke dapur, mengambil panci
kecil dan sendok. Kemudian ia ikut bergabung dengan orang-orang yang sudah
berkumpul selepas isya’ di depan rumah. Pagi tadi ada bapak-bapak yang
mengatakan bajunya tersangkut kail pancing yang ada di atas pohon. Semua orang
menduga itu pancingan milik si Apel yang digondol wewe gombel. Karena ibunya
pun bilang jika si Apel memang izin pergi memancing, tapi sampai malam
ia tak kunjung pulang. Dan tersebarlah isu si Apel hilang digondol
kalong wewe ke seantero desa.
Semua anak dilarang keluar rumah,
begitu pula aku. Dari tadi aku masih memikirkan sebab hilangnya si Apel,
yang kurasa masih janggal. Tiba-tiba, aku teringat percakapanku dengan Litya
dan si Apel seminggu yang lalu di lapangan. Saat itu, si Apel
bilang ada seleksi pemain Arema U-15. Apa mungkin dia mengikuti seleksi itu?
dia kan Aremania dan ingin sekali mengikuti idolanya, Christian Gonzales ke
Arema.
Aku berniat menghubungi Litya dan
menyampaikan pemikiranku ini. Namun niat ini kuurungkan, aku ingat kalau Litya
sedang marah padaku. Gara-gara aku yang berjalan di atas jembatan gantung dari
bambu tak sengaja tersandung, dan menjatuhkan bola milik si Apel dari
pelukanku yang langsung terjun ke sungai. Bola itu hanyut, sementara kami
berdua tak bisa mengikutinya lagi.
Aku jadi semakin merindukan si
Apel, jika Litya dan aku marahan pasti dia bisa dengan mudah menyatukan
kami kembali. Aku pun merasa semakin bersalah tiap kali mengingat kejadian itu.
Aku telah menghilangkan bola kesayangan si Apel. Bola yang sangat
berarti baginya, itu adalah pemberian dari Christian Gonzales langsung saat si
Apel menjadi pemain terbaik turnamen sekota Kediri di Stadion Brawijaya
tahun 2006.
Bukan ayahnya yang merusak bola itu,
tapi aku. Karena memikirkan hal itu, aku jadi teringat sesuatu. Ya, ini yang
dari tadi kucari-cari. Si Apel menitipkan bola ini padaku dan Litya agar
tidak dirusak ayahnya selama dia pergi ke Malang. Ya, itulah jawabannya, dia
pergi ke Malang.
Tiba-tiba ponselku berdering, dari
Litya. Jarang-jarang dia menelponku jika tidak untuk hal-hal yang penting saja,
apalagi bukannya dia sedang marah padaku? Apakah ini tandanya jika Litya punya
pikiran yang sama denganku? Dia ingin memberitahuku bahwa sekarang si Apel
sedang di Malang, mengikuti seleksi Arema U-15?
“Si Apel pergi ke Malang...”
kataku dan Litya berbarengan setelah kuangkat telepon dari Litya.
Benar saja, dua hari setelah heboh si
Apel yang hilang, ayah si Apel berhasil membawa pulang putranya itu.
Dia ditemukan sang ayah dengan bantuan polisi. Tapi kenekadannya kabur dari
rumah, berhasil membuatnya masuk dalam jajaran tim Arema junior. Dan yang
terpenting, dia sudah tak mempermasalahkan bola yang kuhilangkan, karena dia
sudah mendapat gantinya yang sama. bola dari ayahnya sebagai pertanda restu darinya
untuk si Apel mengembangkan bakatnya mengolah si kulit bundar.